Kamis, 05 Mei 2016

Tunarungu Surabaya kelompok Petrus

Tunarungu bukanlah suatu hamabatan dalam menelusuri kehidupan yang ada. Teman-teman tunarungu membuat sebuah kelompok dengan sebutan kelompok PETRUS. Mereka berkumpul dalam sekali sebulan untuk membina kerohanian mereka. Mereka sangat antusis dalam menyusun setiap acara yang akan mereka lakukan. Bergembira dan bersukacita itulah yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Ada yang mau bergabung??????

Karya Murni Ruteng

Ita, Narti, dan Paulina...tiga orang gadis yang memiliki bakat-bakat yang luar biasa. Selain memiliki keahlian dalam bidang tatarias, mereka juga sangat pandai dalam melanggak lenggokan badannya. Beberapa kali sudah mengikuti konser diberbagai tempat. Mereka adalah gadis tunarungu yang saat ini sedang mendalami kursus salon di Surabya. Mereka adalah sebagian anak yang diasuh oleh suster KSSY Ruteng, yang sudah bisa berkomunikasi verbal. Sejak kecil para suster dan para guru mendidik dan mengajari mereka dengan melatih mereka untuk berkomunikasi secara verba. Kini mereka tidak lagi merasa minder untuk bekomunikasi dengan banyak orang. Mereka terus bertumbuh dalam keterbatasan untuk mengurangi keterbatasan yang ada, sehingga semakin berkembang dan mampu menjalani kehidupan yang selayaknya. Komunikasi secara verbal wajib diajarkan kepada mereka. meingat masyarakat kita adalah masyarakat berbahasa lisan. Mereka pasti bisa dan itu adalah nyata. Isyarat hanya sebgai bantuan saja bukan tujuan....Semangat Buat Anak Tunarung Indonesia. kamu pasti bisa.....

KURIKULUM ABK DI SEKOLAH INKLUSI




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan untuk semua adalah satu konsep yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan kita. Hal ini terkait dengan berbagai upaya untuk mencipatakan kondisi kehidupan yang lebih baik dan kondusif. Pendidikan menjadi satu jembatan untuk menciptakan kehidupan sebagai upaya mengubah kondisi sulit menjadi kondisi yang mudah dijalani, Saroni (2012 : 19). Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembngkan potensi-potensi kemanusiaannya.Tirtarahardja & La Sulo (2005 : 1).
Tali Heiman, (2004 : 91), Kerangka pendidikan yang terpenting adalah  memasukkan individu penyandang cacat dan  pekerja  sosial ke pendidikan inklusi telah menjadi konsep utama yang diterima di negara-negara barat dalam dua dekade terakhir. seperti Di Inggris, dan di Israel, undang-undang serupa diamanatkan masuknya siswa dengan kebutuhan khusus ke dalam kelas utama (Leyser, Kapperman, & Keller, 1994; Priestley & Rabiee, 2002). Di kedua negara ini gerakan inklusi mendukung hak-hak yang dimiliki anak di pendidikan kebutuhan  khusus,  diidentifikasi dan dipenuhi melalui undang-undang penyandang cacat  untuk memperoleh hak individu  serta kesempatan mendapat pendidikan yang sama dan bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi dan untuk mengembangkan fasilitas dan layanan yang mendukungan bagi individu dengan kebutuhan khusus (Hak Penyandang Disabilitas Task Force Laporan Akhir, 2004; Departemen Pendidikan 2004).
Dalam Kustawan D., (2012 : 1-2) Pendidikan inklusi diharapakan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi anak bersekolah  atau dalam upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan dalam waktu yang bersamaan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan inklusif juga diharapkan dapat menjawab kesenjangan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan pemenuhan hak-hak semua warga negara dalam bidang pendidikan.
Menurut permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 1, pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Md. Saiful Malak, (2013 : 195), Inclusive Education untuk siswa dengan Special Education Need di sekolah umum adalah menjadi salah satu reformasi seperti dalam sistem pendidikan saat ini . Lebih lanjut ia menuliskan bahwa IE mengacu pada semua siswa yang dihargai, diterima dan dihormati terlepas dari latar belakang etnis dan budaya, sosio-ekonomi keadaan, kemampuan, jenis kelamin, usia, agama, keyakinan dan perilaku (Forlin, 2004; United Nations Educational Scientific and Cultural Organization [UNESCO], 1994).
Dengan melihat penertian dari pendidikan inklsif tersebut, yakni anak ABK berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak regular, maka guru di sekolah inklusi harus siap untuk bekerja lebih giat krena ABK yang menyenyam di sekolah inklusif adalah yang terdiri dari beberapa ketunaan atau hambatan. Maka agar pelayanan di sekolah inklusif menjadi pelayanan yang baik bagi individu maka diperlukan pengadptasian kurikulum dalam beberapa materi yang disesuaikian dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki ABK.
Moh. Takdir Ilahi, (2013 : 168), mengatakan bahwa kurikulum penting untuk menata arah dan tujuan kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa mengabaikan hak-haknya yang belum tercapai. Secara sederhana, kurikulum merupakan bagian penting dari setiap perencanaan pendidikan yang memengaruhi arah dan tujuan anak didik dalam lembaga pendidikan.
Lebih lanjut dikatakan oleh Moh. Takdir Ilahi (171), kurikulum pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah regular (kurikulum nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat kecerdasannya.
Dalam makalah yang dituliskan oleh Mumpuniarti, (2011 : 5), model pembelajaran inklusi mengharuskan guru melayani siswa dengan berbagai kebutuhan belajar. Variasi kebutuhan itu sebenarnya suatu kewajaran dalam kehidupan, dan implikasi untuk dipenuhi secara individual adalah hak asasi. Guru untuk mampu melakukan tuntutan tersebut diperlukan pengaturan bahwa pada setiap tahapan proses mengadaptasi strategi dan metode, serta bagi yang dapat dikolaborasikan antar siswa lebih baik dikolaborasi. Proses kolaborasi dalam belajar antar siswa terjadi bagi siswa yang lebih cepat mencapai target dalam bahan ajar tertentu perlu membimbing temannya yang belum mencapai target tersebut. Siswa yang memiliki keistimewaan di bidang tertentu saling berbagi kemampuan dengan temannya, sebaliknya lemah di bidang lainnya juga perlu menerima bantuan dari temannya yang lebih kuat di bidang tersebut. Kolaborasi akan membangun saling pengetahuan/keterampilan secara kontruktif di antara siswa dengan bantuan guru menggunakan berbagai mediasi. Hal itu berpijak pada teori belajar yang digagas oleh Vygotsky (Santrock, 2002: 240)
Adaptasi kurikulum bagi siswa ABK di sekolah inklusif meruapakan suatu keharusan. Mengingat bervariasnya kemampuan dan hambatn yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus. Untuk itu guru mempunyai peranan penting dalam keberhasilanya anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusif.
B.     Rumusan Masalah
Berdasrkan latar belakang di atas maka dalam makalah ini akan kami bahas tentang Apa itu kurikulum, Apa saja Komponen Kurikulum, Bagimana Pengembangan Kurikulum Adaptasi di Sekolah Inklusi, Apa saja Prinsip dan Pengembangan Kurikulum Adaptif, Bagaimana Penerapan Kurikulum Adaptif,  Apa saja Kemungkinan Kurikulum adaptif di sekolah Inklusi, dan Apa saja Kategori Kurikulum Adaptif.

C.     Tujuan Makalah
Makalah ini bertujuan agar para pendidik terutama pendidik yang bergelut langsung dengan ABK agar dapat memakani pelayananya dengan sungguh-sungguh memeberikan perhatian kepada ABK terutama yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yang hendak atau yang akan didapatnya.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Inklusif
Dalam permendiknas No 70 tahun 2009 menyebutkan bahwa, pendidikan inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Suyanto & Mudjito, 2012 : 5).
Pendidikan inklusif adalah sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau semua individu tanpa kecuali atau dengan kata lain pendidikan inklusif adalah : “Sistem pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu”. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai perbedaan anak dan memberikan layanan kepada setiap anak sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak diskriminatif. Pendidikan yang memberiakan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, bidaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama, baik di kelas/sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing  (Kustawan, D., 2012 : 8).
B.     Pengertian Anak Berkubutuhan Khusus
Anak Berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens ( Moh. Takdir. Ilahi, 2013: 138).
Sedangkan Heward dalam Mudjito, Dkk (2014 : 25), Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmamuan mental, emosi, dan atau fisik. Yang termasuk ke dalam ABK antara lain : tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak bebrakat, anak dengan gangguan kesehatan
Karakterstik dan hambatan yang dimiliki oleh ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa, dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga pendidikan tertua menampung anak dengan jenis kelaianan yang sama sehingga terdapat SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sementara pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun kenyataannya selama ini bahwa baru menampung anak tunanetra, itu pun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan ( Ilahi, 20103 : 18).
Salend, (2005;6), dalam Mariam John Meynert, (2014 : 1) pendidikan inklusif adalah pendidikan yan menghargai hak-hak anak untuk ikut serta sepenuhnya dalam kegiatan kurikulum umum di  sekolah umum dan menghargai sosial mereka, dan hak-hak pendidikan mereka.
Di negara India menurut Alur (2002), dalam Ankur Madan and Neerja Sharma, (2013 : 4) "inklusi bertujuan untuk dapat meminimalkan keberadaan dan mendorong partisipasi semua siswa dalam budaya yang lebih luas dalam dukungan untuk semua anak di sekolah-sekolah biasa". Mittler (2006) menunjukkan bahwa inklusi didasarkan pada sistem nilai yang mengakui keragaman.
C.    Pengertian Kurikulum
Kurikulum diartikan sebagai seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan atau pendidik -an yang didalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan, isi/materi, proses dan evaluasi.Tujuan berarti apa yang akan dicapai, materi berarti apa yang akan dipelajari. Proses berarti apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan.
Kurikulum bisa bersifat makro, artinya pengaturan tetang tujuan, isi/materi, proses dan evaluasi dalam skala nasional, tetapi juga bisa bersifat mikro yaitu pengatur -an tentang hal tersebut dalam konteks pembelajaran di kelas.
D.    Komponen kriukulum
Dalam Sari Rudiyati, (tahun tidak tercantum), dikatakan bahwa tujuan adalah seperangkat kemampuan atau kompetensi yang akan dicapai setelah para siswa menyelesaikan program pendidikan dalam kurun waktu tertentu. Tujuan pendidikan atau pembelajaran secara umum terbagi ke dalam tiga jenis kemampuan, yakni kemampuan yang berupa: (1) kognitif, (2) Afektif dan (3) Psikomo -tor. Jika ditinjau dari tingkatan atau lingkupmya, tujuan dapat dibedakan pendidikan dapat diklasifikasikan ke dalam 4 tingkatan atau lingkup, yaitu : (1) tujuan pendidikan nasional; (2) Tujuan pendidikan lembaga/institusional; (3) Tujuan kurikuler; dan (4) Tujuan pembelajaran.
Tujuan pendidikan yang paling penting untuk dicermati dan dipahami oleh guru adalah tujuan pendidikan pada tingkat institusi (tujuan lembaga/ institusional) dan tujuan pembelajaaran (tujuan instruksional). Jika dikaitkan dengan kurikulum terkini yang berlaku di Indonesia saat adalah Kuriulum 2013, maka yang dimaksud dengan tujuan pendidikan atau pembelajaran kurang lebih sama dengan apa yang termaktub dalam kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator.
Dengan demikian ada empat jenis kompetensi (dalam kurikulum) yang harus dicermati oleh guru kaitannya dengan tujuan pembelajaran dalam setting inklusif, yaitu : Standar kompetensi lulusan (SKL); Kompetensi Inti (KI); Kompetensi Dasar (KD dan Indikator keberhasilan.
1.      Komponen isi (materi)
Materi adalah isi atau konten yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi, konsep, teori, dan lain-lain. Matei pembelajaran harus relevan atau mendukung terhadap pencapain kompetensi dasar dan standar kompetensi. Rumusan materi tidak tersedia dalam kuriku-lum, tetapi harus dibuat atau dikembangkan sendiri oleh sekolah/guru, yang biasanya mengacu kepada buku sumber yang relevan.
2.      Komponen proses
Proses adalah kegiatan atau aktivitas yang akan dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi yang diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Proses memiliki pengertian yang sama dengan kegiatan belajar mengajar (KBM) atau pengalaman belajar, yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh siswa bersama guru baik di dalam maupun di luar kelas.
Proses pembelajaran biasanya terkait dengan penggunaan metode mengajar, penggunaan media pembelajaran, pengalokasian waktu, pemanfaatan sumber. Pengelolaan kelas, dan lain-lain.
3.      Komponen evaluasi
Evaluasi adalah proses yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui apakah para siswa telah berhasil mencapai atau menguasai kompetensi-kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui apakah proses pembelajaran telah berjalan secara efektif atau optimal. Isu yang paling penting terkait dengan evaluasi adalah teknik atau cara yang digunakan dalam evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran.

E.     Pengertian Pembelajaran Adaptif
Irham Hosni, (2003) dalam artikel,  E. S. Munir, (2008), menuliskan  bahwa pembelajaran adaptif merupakan pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dipelajari, dilaksanakan dan memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Dengan demikian pembelajaran adaptif bagi ABK hakekatnya adalah Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebab didalam pembelajaran adaptif bagi ABK yang dirancang adalah pengelolaan kelas, program dan layanannya.
Jadi pembelajaran adaptif pada intinya adalah modifikasi aktivitias, metode, alat, atau lingkungan pembelajaran yang bertujuan untuk menyediakan peluang kepada anak dengan kebutuhan khusus mengikuti program pembelajaran dengan tepat, efektif serta mencapai kepuasan. Prinsip utama dalam modifikasi aktivitas adalah pe-nyesuaian aktivitas pembelaja-ran yang disesuaikan dengan potensi siswa dalam melakukan aktivitias tersebut.
F.     Pengembangan Kurikulum Adaptif di sekolah Inklusi
Sari Rudiyati, (…), menuliskan bagaimana pengembangan kurikulum adaptif untuk siswa berkebutuhan pendidikaan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif? Ada empat model kemungkinan pengembangan kurikulum adaptif bagi siswa yang berkebutuhan pendidikan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, yakni: (1) Model duplikasi; (2) Model modifikasi; (3) Model subtitusi, dan (4) model omisi.
1.      Model Duplikasi
Duplikasi artinya salinan yang serupa benar dengan aslinya. Menyalin berarti membuat sesuatu menjadi sama atau serupa. Dalam kaitannya dengan model kuriukulum, duplikasi berarti mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk siswa pada umumnya (reguler). Jadi model duplikasi adalah cara dalam pengembangan kurikulum, dimana siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus menggunakan kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya.  Model duplikasi dapat diterapkan pada empat kmponen utama kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.
a.       Duplikasi Tujuan
Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada  anak-anak pada umumnya/reguler juga diberlakukan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian standar komptensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa reguler juga diberlakukan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, Demikian juga Kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan juga indikator keberhasilannya
b. Duplikasi Isi atau materi
Duplikasi isi/materi berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa pada umumnya/reguler juga diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus memperoleh informasi, konsep, teori, materi, pokok bahasan atau sub-sub pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan kepada siswa-siswa pada umumnya/ reguler.

c.       Duplikasi proses
Duplikasi proses berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar, lingkung -an/setting belajar, waktu belajar penggunaan media belajar dan atau sumber belajar.
d. Duplikasi Evaluasi
Duplikasi evaluasi berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani evaluasi atau penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler. Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.
2.      Model Modifikasi
Modifikasi berarti merubah atau menyesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka model modifikasi bararti cara pengembangan kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan bagi siswa-siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan mereka. Modifikasi dapat diberlakukan pada empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, proses, dan evaluasi.
a.       Modifikasi Tujuan
Modifikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Sebagai konsekuensi dari modifikasi tujuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka akan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa reguler, baik berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (SI, kompetensi dasar (KD) maupun indikator -nya.
b.      Modifikasi Materi
Modifikasi ini berarti materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keleluasan, kedalaman dan kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada siswa reguler.
c.       Modifikasi Proses
Modifikasi proses berarti ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus dengan yang dialami oleh siswa pada umumnya. Metode atau strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa reguler tidak diterapkan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar, waktu belajar, media belajar serta sumber belajar.
d.      Modifikasi Evaluasi
Modifikasi evaluasi, berarti ada perubahan dalam sistem penilaian hasil belajar yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan kata lain siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani sistem evaluasi yang berbeda dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi. Termasuk juga bagian dari modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk rapor, ijasah . Dll.
3.      Model Subtitusi
Subtitusi berarti mengganti. Dalam kaitannya dengan model kurikulum, maka substansi berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain yang sebobot dengan yang digantikan. Model substansi bisa terjadi dalam hal tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi.
4.      Model Omisi
Omisi berarti menghapus/menghilangka. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti upaya untuk menghapus/menghilangkan sesuatu, baik sebagian atau keseluruhan dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikaan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan kata lain, omisi berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tetapi tidak disampaikan atau tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus, karena sifatnya terlalu sulit atau mampu dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti yang sebobot, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti.

G.    Model Adaptasi
Dalam artikal. Toto Yulianto, (2012 : ..), berdasarkan grand design pendidikan inklusi nasional yang telah disepakati di Palembang tanggal  27-30 November 2007 bahwa yang menjadi substansi implementasi pendidikan inklusi adalah adaptasi. Adapun adaptasi itu meliputi kurikulum, pembelajaran, media dan alat pembelajaran, bahan ajar,  penilaian serta pelaporan hasil belajar.
Dalam makalah ini pembahasan adaptasi pembelajaran, media/ alat, bahan ajar, penilaian dan hasil belajar akan dikemas dalam satu bahasan yaitu adaptasi pembelajaran sehingga secara substansional yang amat diperlukan dalam adaptasi pada pendidikan inklusi adalah adaptasi kurikulum dan adaptasi pembelajaran.
  1. Adaptasi Kurikulum
1)      ABK (anak berkebutuhan khusus) dengan kecerdasan rata-rata dapat menggunakan kurikulum reguler.
2)      ABK dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) dapat diikutkan program akselerasi.
3)      ABK dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) dapat menggunakan mengadaptasi kurikum reguler sesuai dengan karakteristik ABK.
4)      Jenis ABK tertentu memerlukan program kurikulum plus yaitu program kurikulum tambahan yang bersifat rehabilitatif-kompensatif  dan tidak ada di sekolah reguler. Adapun kurikulum plus itu adalah:
·         Tunanetra   orientasi dan mobilitas, Braille
·         Tunarungu bina wicara
·         Tunagrahita bina diri
·         Tunadaksa  bina gerak
·         Tuna laras bina sosial/ pribadi
·         Autis à bina komunikasi dan sosial.
·         Gifted à akselerasi dan pengayaan
5)      ABK yang tidak mampu mengikuti alternatif a), b), c) di atas dapat digunakan program pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar karakteristik ABK secara individual. Adapun pola yang dapat diterapkan sebagai berikut:
  • Membuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang penting bagi kehidupan anak.
  • membuang sebagian kompetensi dasar
  • Menggunakan bagian awal dan membuang di bagian akhir baik pokok bahasan  dan atau sub pokok bahasan.
  • Membuang bagian awal dan menggunakan  di bagian akhir baik pokok bahasan  dan atau sub pokok bahasan
b.  Adaptasi  Pembelajaran
Variabel penting dalam pembelajaran, adalah: a) kondisi pembelajaran, b) metode pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran.
1)      Kondisi pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata pelajaran, kendala, dan karakteristik peserta didik.  Adaptasi yang  dapat dilakuan adalah sebagai berikut:
a)      mengambil standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler maupun PLB) namun menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).
b)      Mengambil standar kompetensi yang sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri standar kompetensinya.

c)      Adaptasi materi pelajaran
Tidak semua mata pelajaran dan atau materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata pelajaran dan atau meteri pelajaran yang menimbulkan kesulitan sebagai akibat langsung dari kelainannya yang membutuhkan adaptasi. Sebagai contoh dapat disajikan hal-hal sebagai berikut :
·         Anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam persepsi visual, sehingga pelajaran menggambar dapat diadaptasi dengan pelajaran ekpresi lain berkaitan dengan nilai seni. Kemudian materi pelajaran yang banyak membutuhkan fungsi visual diadaptasi dengan pemanfaatan indra pendengaran, taktual, penciuman serta indra lain non visual. Kebanyakan tunanetra kesulitan dalam pembentukan konsep global, mereka memulai pengertian dengan diawali pembentukan konsep detail per detail baru kemudian global.
·         Anak tunarunguwicara memiliki keterbatasan dalam persepsi bunyi dan irama, dengan aktivitas bina wicara mereka masih mampu berbicara secara terbatas  sekalipun mereka  tidak dapat mendengar terhadap apa yang mereka sendiri ungkapkan.Materi pelajaran sebaiknya disajikan dalam bentuk gambar-gambar, terutama dalam pembentukan konsep yang berurutan Hindarkan kata-kata yang belum dikenal anak, kecuali kata yang sukar tersebut sebagai upaya untuk menambah kekayaan bahasa mereka. Pertanyaan/ soal hendaknya ringkas/ pendek tetapi cukup representatif.
·         Anak tunagrahita, (antara lain lamban belajar) kesulitan yang amat menonjol adalah fungsi kognisi dan bahkan bila tingkat ketunagrahitaannya berat juga fungsi aspek lain mengalami kelainan. Sebagai contoh bila anak itu mengalami lamban belajar bila dibanding dengan teman rata-rata lain dapat hal-hal sebagai berikut:
v  Materi disajikan dalam bobot yang berbeda dengan teman rata-rata lain. Sekalipun dalam satu tujuan pembelajaran yang sama atau dengan kata lain penyederhanaan materi pelajaran sehingga sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
v  Materi disajikan dengan pendekatan konseptual, maksudnya sebelum anak dituntut untuk menguasai pengertian secara abstrak harus didahului dengan penanaman konsep secara kongkrit dan berulang-ulang.
v  Adaptasi materi pelajaran hanya dilakukan terhadap materi-materi yang menimbulkan kesulitan anak.
·         Bila dalam kelas terdapat peserta didik  gifted, maka materi pembelajaran harus dikembangkan/ diperkaya secara horisontal dengan bobot yang lebih sulit. Percepatan (akselerasi)  penyajian materi secara vertikal dimungkinkan  dengan menaikkan kelas yang lebih tinggi yang tidak perlu menunggu pada akhir tahun pelajaran. Pendidik dalam pembelajaran terhadap anak ini hanya bertindak sebagai fasilitator. Perlu diperhatikan bahwa usia sosial dan emosinya sebenarnya masih sama dengan perkembangan emosi dan sosial anak rata-rata, dan hanya perkembangan kognisinya yang lebih  cepat bila dibanding dengan anak seusianya.
·         Anak dengan variabel ketunaan yang lain misalnya tunadaksa dengan kondisi tanpa kaki/ polio pada kedua kaki tentu tidak dibutuhkan adaptasi materi pelajaran.
d)     Untuk menghadapi berbagai kendala perlu adaptasi media, alat dan bahan ajar.
Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil adaptasi yang khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan. Komputer untuk tunanetra yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara), kalkulator bicara, mount botten, laser can untuk membantu tunanetra berjalan dll. Alat bantu dengar untuk anak tunarunguwicara.
Adaptasi sarana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini adalah adaptasi yang setiap saat dapat melakukan pendidik dalam pembelajaran di kelas. Melalui adaptasi tersebut anak dengan kebutuhan khusus dapat melakukan/ merasakan/ mengamati seperti apa yang dilakukan oleh anak-anak lain.
Di bawah ini beberapa contoh yang mungkin dapat diterapkan dalam pembelajaran:
1.      Adapatasi bahan ajar
·         untuk peserta didik tunanetra dapat bahan ajar diadaptasi dengan buku braille, buku bicara, buku dgital, dll
·         untuk peserta didik tunarungu dapat disertai gambar/ visualisasi yang dapat mewakili narasi/ teks.
2.      Dalam mempelajari bangun geometri anak tunanetra harus mempelajari benda asli/ model/ setidaknya gambar timbul, sehinga anak tunanetra dapat meraba, begitu pula mempelajari peta suatu wilyah juga harus berupa peta timbul.
3.      Anak lamban belajar menulis harus dilihat kasus demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak dapat membedakan antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.
4.      Anak autis perlu meja khusus yaitu meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.
5.      Anak polio (kursi roda) diperlukan kursi dan meja yang dapat dijangkau (diturunkan) dan ruang yang cukup untuk menempatkan kursi roda.
6.      Penempatan sarana dan alat/ buku-buku mudah dijangkau untuk semua anak
d)     Karakteristik peserta didik meliputi perbedaan individual dalam hal fisik (fisik normal, tunanetra, tunarungu, dunadaksa, warna kulit, ras, dll); emosi dan sosial (anak soleh, anak nakal, autis, maldjusted,  anak miskin, anak beresiko, dll); intelektual (anak cerdas, rata-rata, anak bodoh, tunagrahita); kepribadian (introvert, ekstrovert, dll); minat; bakat; dll.
2)      Metode pembelajaran terdiri dari strategi pengorganisasian, metodologi, dan pengelolaan.
Berkaitan dengan metode pembelajaran dapat dilakukan beberapa adaptasi antara lain:
a)      Adaptasi  waktu pembelajaran
Akan lebih bijaksana bila dalam pemberian setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesulitan yang dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding dengan anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi seperti yang lain sekalipun dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra dalam mengerjakan soal-soal ujian diberikan kelonggaran 20% dengan waktu yang digunakan oleh anak “normal”. Anak tunarunguwicara diberikan kesempatan yang longgar dalam memahami isi bacaan/ membaca. Anak lamban belajar berhitung, bila pendidik menuntut sejumlah soal yang sama dengan anak rata-rata lain waktu hendaknya diberikan kelonggaran yang cukup sesuai dengan tingkat kelambanannya atau jumlah soal dikurangi.
b)      Adaptasi pengelolaan kelas
Dalam pengorganisasian kelas membutuhkan strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan tempat duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus mendapatkan prioritas khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa adaptasi pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman yang lain.
H.    Prinsip dan Pengembangan Kurikulum Adaptif
Dalam Modul Pelatihan Pendidikan Inklsif, (…), Kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa reguler perlu dirubah/dimodifikasi sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum dengan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum tidak harus sama pada masing-masing komponen, artinya jika komponen tujuan dan materi harus dimodifikasi, mungkin demikian juga proses dan evaluasinya.
Proses penyesuaian juga tidak harus sama untuk semua materi. Materi tertentu perlu dimodifikasi, tetapi mungkin tidak perlu untuk materi yang lain. Proses modifikasi juga tidak sama untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran tertentu mungkin perlu banyak modifikasi tetapi tidak demikian untuk mata pelajaran yang lain. Proses modifikasi juga tidak sama pada masing-masing jenis kelainan. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus yang tidak mengalami hambatan kecerdasan, misalnya: anak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa, mungkin sedikit membutuhkan modifikasi kurikulum. Sedang siswa yang mengalami hambatan kecerdasan (anak tunagrahita) membutuhkan modifikasi hampir pada pada semua komponen pembelajaran (tujuan, isi, proses dan evaluasi).
I.       Penerapan Kurikulum Adpatif
Dalam Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, (…), ada empat kemungkinan model kurikulum adaptif, yakni: duplikasi, modifikasi, substitusi dan omisi, dan ada empat komponen utama kurikulum, yakni: tujuan, materi, proses dan evaluasi. Mengembangkan kurikulum untuk siswa berke -butuhan pendidikan khusus pada dasarnya adalah mengawinkan antara model kurikulum dengan komponen kurikulum. Setiap satu komponen dari model kurikulum dipadukan dengan setiap komponen kurikulum, sehingga akan terjadi 16 kemungkinan perpaduan, yaitu 4 kali 4.
Skema 1 : 16 Kemungkinan Model Kurikulum Adaptif di Sekolah Inklusif
                        Duplikasi                     Modifikasi                   Subtitusi                      Omisi
Tujuan

Materi










 
Proses













 
Evaluasi

J.      Kemungkinan Kurikulum adaptif di sekolah Inklusi
Dalam Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, Sari Rudiyanti, (…), skema di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya ada 16 kemungkinan model kurikulum adaptif untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, yaitu kemungkinan model tujuan (1.2.3,4), empat ke -mungkinan model materi (5,6,7,8), empat kemungkinan proses (9,10,11, 12) dan empat kemungkinan model evaluasi (13, 14, 15, 16) . Pada waktu seorang guru akan merancang kuriku –lum adaptif bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka ada 16 pertanyaan yang perlu dijawab. Pertanyaan pertama adalah apakah tujuan pembelajaran yang akan diberlakukan bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus, sama dengan siswa lainnya?
Apakah perlu modifikasi? Atau diganti (subsitusi)? Atau malah dihapus/dihilangkan (omisi). Pertanyaan serupa diajukan berkenaan dengan materi pelajaran. Seterusnya berkenaan dengan proses dan dan akhirnya evaluasi.
Ada kemungkinan bahwa tujuan pembe -lajaran di samakan (duplikasi), tetapi materinya harus dimodifikasikan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan pembelajaran perlu dimodifikasi, materi juga perlu dimodifikasi, tetapi prosesnya disamakan. Ada kemungkinan bahwa baik tujuan pembelajaran, materi, proses dan juga evaluasinya harus dimodifikasi.
Modifikasi atau tidaknya suatu komponen sangat tergantung kepada kondisi, sifat atau kadar dari komponen tersebut serta tingkat hambatan yang dialami siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Semakin berat tujuan atau materi pembela -jaran yang ada, semakin perlu untuk dimodifikasikan, dan semakin berat hambatan intelektual siswa, juga semakin perlu dilakukan modifikasi.
K.    Kategori Kurikulum Adaptif
Sari Rudiyati, (…), kurikulum untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus pada dasar bervariasi sesuai dengan jenis hambatan yang dialami oleh siswa yang berssangkutan. Setiap jenis hambatan (kelainan) membutuhkan model kurikulum yang berbeda. Namun demikian, kategorisasi kurikulum bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus dalam setting inklusif dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni:
1.      Kurikulum bagi ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.
2.      Kurikulum bagi ABK yang mengalami hambatan kecerdasan.
Untuk ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan kemungkinan kurikulumnya adalah sebagai beriku :
1.      Kurikulum bagi ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.
Siswa berkebutuhan khusus yang tidak menga lami hambatan kecerdasan, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dll. membutuh kan sedikit modifikasi dalam pembelajaran. Tujuan dan materi pembelajaran umumnya tidak mengalami perubahan, demikian dengan evaluasinya. Mereka biasanya lebih banyak membutuhkan modifikasi dalam proses pembelajaran yakni berkaitan dengan cara dan media dalam penyajian informasi. Kecenderungan model kurikulum untuk mereka dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Kecendrungan Umum Kurikulum ABK Yang Tidak Mengalami Hambatan Kecerdasan

Tujuan

Materi
Proses
Evaluasi

KI
KD
Indikator

Metode
Media
Soal
Cara
Alat
Duplikasi





Modifikasi





Subtitusi








Omisi










2.      Kurikulum bagi ABK yang mengalami ham -batan kecerdasan
Siswa berkebutuhan pendidikan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan seperti anak tunagrahita dan anak yang mengalami kelainan lain yang disertai dengan hambatan kecerdasan , biasanya membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen pembelajaran.
Tujuan pembelajaran harus dimodifikasi, sa -ma halnya dengan materi, proses dan pelaksanaan evaluasinya.
Kecenderungan model kurikulum untuk ABK yang mengalami hambatan kecerdsan dapat dilihat pada tabel berikut:

Kecendrungan Umum Model Kurikulum Adaptif Bagi ABK Yang Mengalami Hambatan Kecerdasan:



Tujuan

Materi
Proses
Evaluasi

KI
KD
Indikator

Metode
Media
Soal
Cara
Alat
Duplikasi









Modifikasi
Subtitusi








Omisi



















Matrik Modifikasi Indikator
Tema/Sub Tema          :
Kelas/Semester            :
Kompetensi Isi (KI) Regluer
Kompetensi Dasar (KD) Reguler
Indikator Reguler
Indikator Modifikasi



ABK dengan Hambatan Ringan
ABK dengan Hambatan Kecerdasan Sedang





















Matrik Modefikasi Kompetensi Dasar
Tema/Sub Tema          : IPA
Kelas/Semester            : 2/2

Kompetinsi Inti
Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar (KD) Modifikasi


ABK Ringan
ABK Sedang















Matrik Modifikasi Materi Pembelajaran
Tema/Sub-Tema          :
Kelas/Semester            :
Satndar Kompetensi   :
Standar Kompetensi (Reguler)
Materi Pembelajaran (Reguler)
Kompetensi Dasar (Modifikasi)
Materi Modifikasi



ABK dg Hambatan Kecerdasan Ringan
ABK dg Hambatan Kecerdasan Sedang






Dari seluruh penjabaran di atas bahwa ABK adalah mereka yang mengalami hambatan dalam dirinya. Hambtan yang mereka miliki sangat bervariasi. Perkembangan pemhaman tentang pendidikan, membawa mereka untuk dapat menikmati pendidikan di sekolah regular yakni berada bersama anak-anak regular yang kita sebut sekolah inklusif. Sekolah inklusif semkain banyak ditemukan dibeberapa daerh di Indonesia. Untuk memaksimalkan pelayanan terhadap ABK maka diperlukan sebuah kurikulum, kurikulum di sekolah inklusif hendaknya mampu diadaptasikan sejalan dengan kemampuan dan hambatan ABK. Adaptasi kurikulum yang didalamnya ada materi ajar, sarana dan prasarana, cara dan lain-lain akan membantu ABK dalam menerima pembelajaran di sekola inklusif.






BAB III
KESIMPULAN
Setiap individu merupakan pribadi yang unik, di dunia ini tidak ada dua orang yang persis sama. Perbedaan individu merupakan salah satu aspek yang memperoleh perhatian dalam bidang pendidikan, terutama kecepatan dan irama perkembangannya. Sehingga manusia dipandang sebagai makhluk bhineka (individual differences), kekurangan atau keunggulan adalah suatu bentuk keberagaman manusia. Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa perbedaan peserta didik ke dalam kelompok normal dan tidak normal, pintar dan bodoh menjadi tidak relevan lagi, disinilah perlunya pembelajaran yang efektif sesuai dengan kebutuhan siswa.
Kurikulum sebagai substansi, suatu kurikulum dipandang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi peserta didik di sekolah, atau seperangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar mengajar, jadual, dan evaluasi. Kurikulum sebagai sistem merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, dan bahkan sistem kemasyarakatan. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi dan menyempurnakannya. Hasil dari sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara agar kurikulum tetap dinamis. Kurikulum sebagai bidang studi, lebih menekankan kurikulum sebagai obyek ilmu pengetahuan, yakni sebagai bidang studi kurikulum.
Desain kurikulum berbasis Inklusi sangat memperhatikan beberapa hal yaitu: Pertama: usaha restrukturisasi yaitu proses pelembagaan keyakinan, nilai dan norma baru tentang fungsi dasar, proses dan struktur suatu lembaga untuk menjamin kepastian, keadilan, dan pemanfaatan usaha pendidikan itu sendiri. Kedua: rekulturisasi yaitu proses pembudayaan perilaku seseorang atau kelompok atas keyakinan, nilai dan norma baru yang diharapkan. Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan merupakan kunci rekulturasi. Ketiga: refigurasi yaitu proses perekayasaan figur atau tokoh sebagai model atau teladan (kepala sekolah, guru, pamong, orang tua) agar yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kesanggupan melembagakan dan membudayakan keyakinan, nilai dan norma baru pendidikan yang diharapkan.
Adapatsi kurikulum juga merupakan salah satu cara untuk pemenuhan hak bagi ABK yang berada di sekolah inkulisi. Karena setiap individu memiliki keterbatasan maka pembelajaranpun disesuaikan dengan keberadaan siswa. Untuk memperlancar proses KBM nya maka diperlukan rencana untuk membuat adapatasi kurikulum agar semua ABK dapat terlayani dengan baik.
Adaptasi dalam model pembelajaran inklusi saat proses merupakan cara penyesuaian aktivitas belajar yang sesuai dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus. Penyesuaian tersebut dilakukan pada tahapan belajar perolehan, tahap ulangan, tahap kecakapan, tahap mempertahankan, tahap perluasan, tahap penyesuaian, dan tahap penyesuaian.














DAFTAR PUSTAKA
Ankur Madan and. Neerja Sharma, 2013. Inclusive Education for Children with Disabilities: Preparing Schools to Meet the Challenge. Volume 3 Number 1 Electronic Journal for Inclusive Education Vol. 3, No. 1 (Fall/Winter 2013)
Efendi, S. Munir, (2008), Pembelajaran Adaptif. Diakses pada tanggal 05 Pebruari 2016, dari http://ndanks.blogspot.co.id/2008/07/pembelajaran-adaptif.html
Kustawan D., (2012), Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta : PT Luxima Metro Media.
Mariam John Meynert, 2014,  Inclusive Education And Perceptions Of Learning Facilitators Of Children With Special Needs In A School In Sweden. Vol 29, No: 2, 2014
Md. Saiful Malak, 2013. Inclusive Education Reform in Bangladesh: Pre-Service Teachers’
Responses to Include Students with Special Educational Needs in Regular Classrooms. International Journal of Instruction January 2013 Vol.6, No.1 e-ISSN: 1308-1470 www.e-iji.net p-ISSN: 1694-609X
Mujito & Suyanto, 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta: Baduose Media
Mujito, dkk. 2014. Pendidikan Layanan Khusus, Model-model dan Implementasi. Jakarta : Kemdikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Khusus, Direktorat Pendidikan Khusu dan Layanan Khusus
Mumpuniarti, (2011). Adaptasi Proses Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus.  diakses pada tanggal 5 Nopember 2015 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/ADAPTASI%20PROSES%20PEMBELAJARAN%20ANAK%20BERKEBUTUHAN%20KHUSUS.pdf
Moh. Takdir Ilahi, (2013), Pendidikan Inklusif. Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA
Tali Heiman, (2004), TEACHERS COPING WITH CHANGES: INCLUDING STUDENTS WITH DISABILITIES IN MAINSTREAM CLASSES: AN INTERNATIONAL VIEW . Diakses tanggal 28 Oktober 2015, dari, http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ852062.pdf
Tirtarahardja & La Sulo (2005), Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT Rineke Cipta

Toto Yulianto, (2012). Pembelajaran Yang Adaptif Pembelajaran Untuk Semua. Diakses pada tanggal 06 Pebruari 2016, dari https://totoyulianto.wordpress.com/2012/10/05/pembelajaran-yang-adaptif-pembelajaran-untuk-semua/

Sari Rudiyati, (…). Pengembangan Kurikulum Adaptif di Sekolah Inklusif. Diakses dari pada tanggal 05 Nopember 2015 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-sari-rudiyati-mpd/kurikulum-adaptif-di-sekolah-inklusif.pdf