KURIKULUM ABK DI SEKOLAH INKLUSIF
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
untuk semua adalah satu konsep yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan kita.
Hal ini terkait dengan berbagai upaya untuk mencipatakan kondisi kehidupan yang
lebih baik dan kondusif. Pendidikan menjadi satu jembatan untuk menciptakan
kehidupan sebagai upaya mengubah kondisi sulit menjadi kondisi yang mudah
dijalani, Saroni (2012 : 19). Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk
menumbuhkembngkan potensi-potensi kemanusiaannya.Tirtarahardja & La Sulo
(2005 : 1).
Tali
Heiman, (2004 : 91), Kerangka pendidikan
yang terpenting adalah memasukkan
individu penyandang cacat dan pekerja sosial ke pendidikan
inklusi telah menjadi konsep utama yang diterima di negara-negara
barat dalam dua dekade terakhir.
seperti Di Inggris, dan di Israel, undang-undang serupa diamanatkan masuknya siswa
dengan kebutuhan khusus ke dalam
kelas utama (Leyser, Kapperman, & Keller,
1994; Priestley &
Rabiee, 2002). Di
kedua negara ini gerakan inklusi
mendukung hak-hak yang dimiliki anak di pendidikan
kebutuhan khusus, diidentifikasi dan dipenuhi melalui undang-undang penyandang
cacat untuk
memperoleh hak individu
serta kesempatan mendapat pendidikan yang sama dan bertujuan untuk
menghapuskan diskriminasi dan untuk mengembangkan fasilitas dan layanan yang
mendukungan bagi individu dengan
kebutuhan khusus (Hak Penyandang
Disabilitas Task Force Laporan
Akhir, 2004; Departemen
Pendidikan 2004).
Dalam Kustawan D., (2012 : 1-2)
Pendidikan inklusi diharapakan dapat menjadi salah satu upaya untuk
meningkatkan partisipasi anak bersekolah
atau dalam upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan dalam
waktu yang bersamaan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan inklusif
juga diharapkan dapat menjawab kesenjangan yang terjadi di masyarakat berkaitan
dengan pemenuhan hak-hak semua warga negara dalam bidang pendidikan.
Menurut
permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 1, pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Md. Saiful Malak, (2013
: 195), Inclusive Education untuk
siswa dengan Special Education Need di sekolah umum adalah menjadi salah satu
reformasi seperti dalam sistem pendidikan saat ini . Lebih lanjut ia menuliskan bahwa IE
mengacu pada semua siswa yang dihargai, diterima
dan dihormati terlepas dari latar belakang etnis dan budaya, sosio-ekonomi
keadaan, kemampuan, jenis
kelamin, usia, agama, keyakinan dan perilaku (Forlin, 2004; United Nations Educational Scientific
and Cultural Organization [UNESCO],
1994).
Dengan
melihat penertian dari pendidikan inklsif tersebut, yakni anak ABK berhak
mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak regular, maka guru di sekolah
inklusi harus siap untuk bekerja lebih giat krena ABK yang menyenyam di sekolah
inklusif adalah yang terdiri dari beberapa ketunaan atau hambatan. Maka agar
pelayanan di sekolah inklusif menjadi pelayanan yang baik bagi individu maka
diperlukan pengadptasian kurikulum dalam beberapa materi yang disesuaikian
dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki ABK.
Moh.
Takdir Ilahi, (2013 : 168), mengatakan bahwa kurikulum penting untuk menata
arah dan tujuan kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik tanpa
mengabaikan hak-haknya yang belum tercapai. Secara sederhana, kurikulum
merupakan bagian penting dari setiap perencanaan pendidikan yang memengaruhi
arah dan tujuan anak didik dalam lembaga pendidikan.
Lebih
lanjut dikatakan oleh Moh. Takdir Ilahi (171), kurikulum pendidikan inklusif
menggunakan kurikulum sekolah regular (kurikulum nasional) yang dimodifikasi
(diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus,
dengan mempertimbangkan karakteristik dan tingkat kecerdasannya.
Dalam makalah yang dituliskan oleh Mumpuniarti,
(2011 : 5), model
pembelajaran inklusi mengharuskan guru melayani siswa dengan berbagai kebutuhan
belajar. Variasi kebutuhan itu sebenarnya suatu kewajaran dalam kehidupan, dan
implikasi untuk dipenuhi secara individual adalah hak asasi. Guru untuk mampu
melakukan tuntutan tersebut diperlukan pengaturan bahwa pada setiap tahapan proses
mengadaptasi strategi dan metode, serta bagi yang dapat dikolaborasikan antar
siswa lebih baik dikolaborasi. Proses kolaborasi dalam belajar antar siswa
terjadi bagi siswa yang lebih cepat mencapai target dalam bahan ajar tertentu
perlu membimbing temannya yang belum mencapai target tersebut. Siswa yang
memiliki keistimewaan di bidang tertentu saling berbagi kemampuan dengan
temannya, sebaliknya lemah di bidang lainnya juga perlu menerima bantuan dari
temannya yang lebih kuat di bidang tersebut. Kolaborasi akan membangun saling
pengetahuan/keterampilan secara kontruktif di antara siswa dengan bantuan guru
menggunakan berbagai mediasi. Hal itu berpijak pada teori belajar yang digagas
oleh Vygotsky (Santrock, 2002: 240)
Adaptasi kurikulum bagi siswa ABK di
sekolah inklusif meruapakan suatu keharusan. Mengingat bervariasnya kemampuan
dan hambatn yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus. Untuk itu guru
mempunyai peranan penting dalam keberhasilanya anak berkebutuhan khusus di
sekolah inklusif.
B. Rumusan
Masalah
Berdasrkan latar belakang
di atas maka dalam makalah ini akan kami bahas tentang Apa itu kurikulum, Apa
saja Komponen Kurikulum, Bagimana Pengembangan Kurikulum Adaptasi di Sekolah
Inklusi, Apa saja Prinsip dan Pengembangan Kurikulum Adaptif, Bagaimana
Penerapan Kurikulum Adaptif, Apa saja
Kemungkinan Kurikulum adaptif di sekolah Inklusi, dan Apa saja Kategori
Kurikulum Adaptif.
C. Tujuan
Makalah
Makalah ini bertujuan agar para pendidik terutama
pendidik yang bergelut langsung dengan ABK agar dapat memakani pelayananya
dengan sungguh-sungguh memeberikan perhatian kepada ABK terutama yang berkaitan
dengan tujuan pendidikan yang hendak atau yang akan didapatnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Inklusif
Dalam
permendiknas No 70 tahun 2009 menyebutkan bahwa, pendidikan inklusif adalah
system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Suyanto &
Mudjito, 2012 : 5).
Pendidikan
inklusif adalah sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha
menjangkau semua individu tanpa kecuali atau dengan kata lain pendidikan
inklusif adalah : “Sistem pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta
mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu”.
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menghargai perbedaan anak dan
memberikan layanan kepada setiap anak sesuai dengan kebutuhannya. Pendidikan
inklusif adalah pendidikan yang tidak diskriminatif. Pendidikan yang
memberiakan layanan terhadap semua anak tanpa memandang kondisi fisik, mental,
intelektual, sosial, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, bidaya, tempat
tinggal, bahasa dan sebagainya. Semua anak belajar bersama, baik di
kelas/sekolah formal maupun nonformal yang berada di tempat tinggalnya yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing (Kustawan, D., 2012 : 8).
B.
Pengertian
Anak Berkubutuhan Khusus
Anak
Berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau
permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens ( Moh.
Takdir. Ilahi, 2013: 138).
Sedangkan
Heward dalam Mudjito, Dkk (2014 : 25), Anak berkebutuhan khusus adalah anak
dengan karakteristik yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmamuan mental, emosi, dan atau fisik. Yang termasuk ke
dalam ABK antara lain : tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak bebrakat, anak dengan
gangguan kesehatan
Karakterstik
dan hambatan yang dimiliki oleh ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan
khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Selama ini,
pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga
pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa, dan
Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga pendidikan tertua menampung anak dengan
jenis kelaianan yang sama sehingga terdapat SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB
Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sementara
pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang menampung anak berkelainan, dengan
kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama.
Namun kenyataannya selama ini bahwa baru menampung anak tunanetra, itu pun
perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan
menerima anak berkelainan ( Ilahi, 20103 : 18).
Salend,
(2005;6), dalam Mariam John Meynert,
(2014 : 1) pendidikan inklusif adalah pendidikan yan menghargai
hak-hak anak untuk ikut serta sepenuhnya dalam kegiatan kurikulum umum di sekolah umum dan menghargai sosial mereka,
dan hak-hak pendidikan mereka.
Di
negara India menurut Alur (2002), dalam Ankur Madan and Neerja Sharma, (2013 :
4) "inklusi bertujuan untuk dapat meminimalkan keberadaan dan mendorong
partisipasi semua siswa dalam budaya yang lebih luas dalam dukungan untuk semua
anak di sekolah-sekolah biasa". Mittler (2006) menunjukkan bahwa inklusi
didasarkan pada sistem nilai yang mengakui keragaman.
C.
Pengertian
Kurikulum
Kurikulum
diartikan sebagai seperangkat rencana atau pengaturan pelaksanaan pembelajaran
dan atau pendidik -an yang didalamnya mencakup pengaturan tentang tujuan,
isi/materi, proses dan evaluasi.Tujuan berarti apa yang akan dicapai, materi
berarti apa yang akan dipelajari. Proses berarti apa yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan dan evaluasi berarti apa yang harus dilakukan untuk mengetahui
keberhasilan pencapaian tujuan.
Kurikulum
bisa bersifat makro, artinya pengaturan tetang tujuan, isi/materi, proses dan
evaluasi dalam skala nasional, tetapi juga bisa bersifat mikro yaitu pengatur
-an tentang hal tersebut dalam konteks pembelajaran di kelas.
D.
Komponen
kriukulum
Dalam
Sari Rudiyati, (tahun tidak tercantum), dikatakan bahwa tujuan adalah seperangkat
kemampuan atau kompetensi yang akan dicapai setelah para siswa menyelesaikan
program pendidikan dalam kurun waktu tertentu. Tujuan pendidikan atau
pembelajaran secara umum terbagi ke dalam tiga jenis kemampuan, yakni kemampuan
yang berupa: (1) kognitif, (2) Afektif dan (3) Psikomo -tor. Jika ditinjau dari
tingkatan atau lingkupmya, tujuan dapat dibedakan pendidikan dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 tingkatan atau lingkup, yaitu : (1) tujuan
pendidikan nasional; (2) Tujuan pendidikan lembaga/institusional; (3) Tujuan
kurikuler; dan (4) Tujuan pembelajaran.
Tujuan pendidikan yang
paling penting untuk dicermati dan dipahami oleh guru adalah tujuan pendidikan
pada tingkat institusi (tujuan lembaga/ institusional) dan tujuan pembelajaaran
(tujuan instruksional). Jika dikaitkan dengan kurikulum terkini yang berlaku di
Indonesia saat adalah Kuriulum 2013, maka yang dimaksud dengan tujuan
pendidikan atau pembelajaran kurang lebih sama dengan apa yang termaktub dalam
kompetensi inti, kompetensi dasar dan indikator.
Dengan demikian ada empat
jenis kompetensi (dalam kurikulum) yang harus dicermati oleh guru kaitannya
dengan tujuan pembelajaran dalam setting inklusif, yaitu : Standar kompetensi
lulusan (SKL); Kompetensi Inti (KI); Kompetensi Dasar (KD dan Indikator
keberhasilan.
1. Komponen
isi (materi)
Materi adalah isi atau
konten yang harus dipelajari oleh siswa supaya bisa mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Materi pembelajaran bisa berupa informasi, konsep, teori, dan
lain-lain. Matei pembelajaran harus relevan atau mendukung terhadap pencapain
kompetensi dasar dan standar kompetensi. Rumusan materi tidak tersedia dalam
kuriku-lum, tetapi harus dibuat atau dikembangkan sendiri oleh sekolah/guru,
yang biasanya mengacu kepada buku sumber yang relevan.
2. Komponen
proses
Proses adalah kegiatan
atau aktivitas yang akan dijalani oleh siswa supaya bisa menguasai materi yang
diajarkan dan bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Proses memiliki pengertian yang sama dengan kegiatan belajar mengajar (KBM)
atau pengalaman belajar, yakni serangkaian kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh siswa bersama guru baik di dalam maupun di luar kelas.
Proses
pembelajaran biasanya terkait dengan penggunaan metode mengajar, penggunaan
media pembelajaran, pengalokasian waktu, pemanfaatan sumber. Pengelolaan kelas,
dan lain-lain.
3. Komponen
evaluasi
Evaluasi adalah proses
yang dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk mengetahui
apakah para siswa telah berhasil mencapai atau menguasai kompetensi-kompetensi
yang menjadi tujuan pembelajaran. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui
apakah proses pembelajaran telah berjalan secara efektif atau optimal. Isu yang
paling penting terkait dengan evaluasi adalah teknik atau cara yang digunakan
dalam evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran.
E.
Pengertian
Pembelajaran Adaptif
Irham
Hosni, (2003) dalam artikel, E. S.
Munir, (2008), menuliskan bahwa pembelajaran adaptif merupakan
pembelajaran biasa yang dimodifikasi dan dirancang sedemikian rupa sehingga
dapat dipelajari, dilaksanakan dan memenuhi kebutuhan pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK). Dengan demikian pembelajaran adaptif bagi ABK hakekatnya adalah
Pendidikan Luar Biasa (PLB). Sebab didalam pembelajaran adaptif bagi ABK yang
dirancang adalah pengelolaan kelas, program dan layanannya.
Jadi
pembelajaran adaptif pada intinya adalah modifikasi aktivitias, metode, alat,
atau lingkungan pembelajaran yang bertujuan untuk menyediakan peluang kepada
anak dengan kebutuhan khusus mengikuti program pembelajaran dengan tepat,
efektif serta mencapai kepuasan. Prinsip utama dalam modifikasi aktivitas
adalah pe-nyesuaian aktivitas pembelaja-ran yang disesuaikan dengan potensi
siswa dalam melakukan aktivitias tersebut.
F.
Pengembangan
Kurikulum Adaptif di sekolah Inklusi
Sari
Rudiyati, (…), menuliskan bagaimana pengembangan kurikulum adaptif untuk siswa
berkebutuhan pendidikaan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif?
Ada empat model kemungkinan pengembangan kurikulum adaptif bagi siswa yang
berkebutuhan pendidikan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif,
yakni: (1) Model duplikasi; (2) Model modifikasi; (3) Model subtitusi, dan (4)
model omisi.
1. Model
Duplikasi
Duplikasi artinya salinan
yang serupa benar dengan aslinya. Menyalin berarti membuat sesuatu menjadi sama
atau serupa. Dalam kaitannya dengan model kuriukulum, duplikasi berarti
mengembangkan dan atau memberlakukan kurikulum untuk siswa berkebutuhan
pendidikan khusus secara sama atau serupa dengan kurikulum yang digunakan untuk
siswa pada umumnya (reguler). Jadi model duplikasi adalah cara dalam pengembangan
kurikulum, dimana siswa-siswa berkebutuhan pendidikan khusus menggunakan
kurikulum yang sama seperti yang dipakai oleh anak-anak pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat
kmponen utama kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses dan evaluasi.
a. Duplikasi
Tujuan
Duplikasi
tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada anak-anak pada umumnya/reguler juga
diberlakukan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Dengan demikian
standar komptensi lulusan (SKL) yang diberlakukan untuk siswa reguler juga
diberlakukan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus, Demikian juga
Kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan juga indikator keberhasilannya
b.
Duplikasi Isi atau materi
Duplikasi isi/materi
berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada siswa pada
umumnya/reguler juga diberlakukan sama kepada siswa-siswa berkebutuhan
pendidikan khusus. Siswa berkebutuhan pendidikan khusus memperoleh informasi,
konsep, teori, materi, pokok bahasan atau sub-sub pokok bahasan yang sama
seperti yang disajikan kepada siswa-siswa pada umumnya/ reguler.
c. Duplikasi
proses
Duplikasi proses berarti
siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kegiatan atau pengalaman belajar
mengajar yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada
umumnya/reguler. Duplikasi proses bisa berarti kesamaan dalam metode mengajar,
lingkung -an/setting belajar, waktu belajar penggunaan media belajar dan atau
sumber belajar.
d.
Duplikasi Evaluasi
Duplikasi evaluasi
berarti siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani evaluasi atau penilaian
yang sama seperti yang diberlakukan kepada siswa-siswa pada umumnya/reguler.
Duplikasi evaluasi bisa berarti kesamaan dalam soal-soal ujian, kesamaan dalam
waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi, atau kesamaan dalam tempat atau
lingkungan dimana evaluasi dilaksanakan.
2. Model
Modifikasi
Modifikasi
berarti merubah atau menyesuaikan. Dalam kaitan dengan model kurikulum untuk
siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka model modifikasi bararti cara
pengembangan kurikulum, dimana kurikulum umum yang diberlakukan bagi
siswa-siswa reguler dirubah untuk disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan
kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan
demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani kurikulum yang
disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan mereka. Modifikasi dapat
diberlakukan pada empat komponen utama, yaitu tujuan, materi, proses, dan
evaluasi.
a. Modifikasi
Tujuan
Modifikasi tujuan berarti
tujuan-tujuan pembelajaran yang ada dalam kurikulum umum dirubah untuk
disesuaikan dengan kondisi siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Sebagai konsekuensi
dari modifikasi tujuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus, maka akan memiliki
rumusan kompetensi sendiri yang berbeda dengan siswa-siswa reguler, baik
berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL), kompetensi inti (SI,
kompetensi dasar (KD) maupun indikator -nya.
b. Modifikasi
Materi
Modifikasi ini berarti
materi-materi pelajaran yang diberlakukan untuk siswa reguler dirubah untuk
disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan
pendidikan khusus. Dengan demikian, siswa berkebutuhan pendidikan khusus
mendapatkan sajian materi yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan
kemampuannya. Modifikasi materi bisa berkaitan dengan keleluasan, kedalaman dan
kesulitannya berbeda (lebih rendah) daripada materi yang diberikan kepada siswa
reguler.
c. Modifikasi
Proses
Modifikasi proses berarti
ada perbedaan dalam kegiatan pembelajaran yang dijalani oleh siswa berkebutuhan
pendidikan khusus dengan yang dialami oleh siswa pada umumnya. Metode atau
strategi pembelajaran umum yang diberlakukan untuk siswa-siswa reguler tidak
diterapkan untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus. Jadi, mereka memperoleh
strategi pembelajaran khusus yang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan
kemampuannya. Modifikasi proses atau kegiatan pembelajaran bisa berkaitan dengan
penggunaan metode mengajar, lingkungan/setting belajar, waktu belajar, media
belajar serta sumber belajar.
d. Modifikasi
Evaluasi
Modifikasi evaluasi,
berarti ada perubahan dalam sistem penilaian hasil belajar yang disesuaikan
dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan kata lain siswa berkebutuhan pendidikan khusus menjalani sistem evaluasi
yang berbeda dengan siswa-siswa lainnya. Perubahan tersebut bisa berkaitan
dengan perubahan dalam soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi,
teknik/cara evaluasi, atau tempat evaluasi. Termasuk juga bagian dari
modifikasi evaluasi adalah perubahan dalam kriteria kelulusan, sistem kenaikan
kelas, bentuk rapor, ijasah . Dll.
3. Model
Subtitusi
Subtitusi
berarti mengganti. Dalam kaitannya dengan model kurikulum, maka substansi
berarti mengganti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum dengan sesuatu yang
lain. Penggantian dilakukan karena hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh
siswa berkebutuhan pendidikan khusus, tetapi masih bisa diganti dengan hal lain
yang sebobot dengan yang digantikan. Model substansi bisa terjadi dalam hal
tujuan pembelajaran, materi, proses maupun evaluasi.
4. Model
Omisi
Omisi berarti
menghapus/menghilangka. Dalam kaitan dengan model kurikulum, omisi berarti
upaya untuk menghapus/menghilangkan sesuatu, baik sebagian atau keseluruhan
dari kurikulum umum, karena hal tersebut tidak mungkin diberikaan kepada siswa
berkebutuhan pendidikan khusus.
Dengan kata lain, omisi
berarti sesuatu yang ada dalam kurikulum umum tetapi tidak disampaikan atau
tidak diberikan kepada siswa berkebutuhan pendidikan khusus, karena sifatnya
terlalu sulit atau mampu dilakukan oleh siswa berkebutuhan pendidikan khusus.
Bedanya dengan substitusi adalah jika dalam substitusi ada materi pengganti
yang sebobot, sedangkan dalam model omisi tidak ada materi pengganti.
G. Model
Adaptasi
Dalam artikal. Toto Yulianto, (2012 : ..), berdasarkan grand
design pendidikan inklusi nasional yang telah disepakati di Palembang
tanggal 27-30 November 2007 bahwa yang menjadi substansi implementasi
pendidikan inklusi adalah adaptasi. Adapun adaptasi itu meliputi kurikulum,
pembelajaran, media dan alat pembelajaran, bahan ajar, penilaian serta
pelaporan hasil belajar.
Dalam makalah ini pembahasan adaptasi pembelajaran, media/
alat, bahan ajar, penilaian dan hasil belajar akan dikemas dalam satu bahasan
yaitu adaptasi pembelajaran sehingga secara substansional yang amat diperlukan
dalam adaptasi pada pendidikan inklusi adalah adaptasi kurikulum dan adaptasi
pembelajaran.
- Adaptasi Kurikulum
1)
ABK
(anak berkebutuhan khusus) dengan kecerdasan rata-rata dapat menggunakan
kurikulum reguler.
2)
ABK
dengan kecerdasan di atas rata-rata (amat cerdas/ IQ ≥ 125) dapat diikutkan
program akselerasi.
3)
ABK
dengan kecerdasan di bawah rata-rata (IQ ≤ 90) dapat menggunakan mengadaptasi
kurikum reguler sesuai dengan karakteristik ABK.
4)
Jenis
ABK tertentu memerlukan program kurikulum plus yaitu program kurikulum tambahan
yang bersifat rehabilitatif-kompensatif dan tidak ada di sekolah reguler.
Adapun kurikulum plus itu adalah:
·
Tunanetra
orientasi dan mobilitas, Braille
·
Tunarungu
bina wicara
·
Tunagrahita
bina diri
·
Tunadaksa
bina gerak
·
Tuna
laras bina sosial/ pribadi
·
Autis
à bina komunikasi dan sosial.
·
Gifted
à akselerasi dan pengayaan
5)
ABK
yang tidak mampu mengikuti alternatif a), b), c) di atas dapat digunakan
program pembelajaran individual (PPI) dimana kurikulum disusun atas dasar
karakteristik ABK secara individual. Adapun pola yang dapat diterapkan sebagai
berikut:
- Membuang sebagian standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianggap kurang penting bagi kehidupan anak.
- membuang sebagian kompetensi dasar
- Menggunakan bagian awal dan membuang di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan.
- Membuang bagian awal dan menggunakan di bagian akhir baik pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan
b.
Adaptasi Pembelajaran
Variabel penting dalam pembelajaran, adalah: a) kondisi
pembelajaran, b) metode pembelajaran, dan c) hasil pembelajaran.
1)
Kondisi
pembelajaran berkaitan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik mata
pelajaran, kendala, dan karakteristik peserta didik. Adaptasi yang
dapat dilakuan adalah sebagai berikut:
a) mengambil standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang sama dengan kurikulum baku (reguler maupun PLB) namun
menurunkan indikator (mengambil sebagian indikator).
b) Mengambil standar kompetensi yang
sama dengan kurikulum reguler dan merumuskan sendiri standar kompetensinya.
c) Adaptasi materi pelajaran
Tidak semua mata pelajaran dan atau
materi pelajaran membutuhkan adaptasi. Hanya mata pelajaran dan atau meteri
pelajaran yang menimbulkan kesulitan sebagai akibat langsung dari kelainannya
yang membutuhkan adaptasi. Sebagai contoh dapat disajikan hal-hal sebagai
berikut :
·
Anak
tunanetra memiliki keterbatasan dalam persepsi visual, sehingga pelajaran
menggambar dapat diadaptasi dengan pelajaran ekpresi lain berkaitan dengan
nilai seni. Kemudian materi pelajaran yang banyak membutuhkan fungsi visual
diadaptasi dengan pemanfaatan indra pendengaran, taktual, penciuman serta indra
lain non visual. Kebanyakan tunanetra kesulitan dalam pembentukan konsep
global, mereka memulai pengertian dengan diawali pembentukan konsep detail per
detail baru kemudian global.
·
Anak
tunarunguwicara memiliki keterbatasan dalam persepsi bunyi dan irama, dengan
aktivitas bina wicara mereka masih mampu berbicara secara terbatas
sekalipun mereka tidak dapat mendengar terhadap apa yang mereka sendiri
ungkapkan.Materi pelajaran sebaiknya disajikan dalam bentuk gambar-gambar,
terutama dalam pembentukan konsep yang berurutan Hindarkan kata-kata yang belum
dikenal anak, kecuali kata yang sukar tersebut sebagai upaya untuk menambah
kekayaan bahasa mereka. Pertanyaan/ soal hendaknya ringkas/ pendek tetapi cukup
representatif.
·
Anak
tunagrahita, (antara lain lamban belajar) kesulitan yang amat menonjol adalah
fungsi kognisi dan bahkan bila tingkat ketunagrahitaannya berat juga fungsi
aspek lain mengalami kelainan. Sebagai contoh bila anak itu mengalami lamban
belajar bila dibanding dengan teman rata-rata lain dapat hal-hal sebagai
berikut:
v Materi disajikan dalam bobot yang
berbeda dengan teman rata-rata lain. Sekalipun dalam satu tujuan pembelajaran
yang sama atau dengan kata lain penyederhanaan materi pelajaran sehingga sesuai
dengan tingkat kemampuan anak.
v Materi disajikan dengan pendekatan
konseptual, maksudnya sebelum anak dituntut untuk menguasai pengertian secara
abstrak harus didahului dengan penanaman konsep secara kongkrit dan
berulang-ulang.
v Adaptasi materi pelajaran hanya
dilakukan terhadap materi-materi yang menimbulkan kesulitan anak.
·
Bila
dalam kelas terdapat peserta didik gifted, maka materi pembelajaran harus
dikembangkan/ diperkaya secara horisontal dengan bobot yang lebih sulit.
Percepatan (akselerasi) penyajian materi secara vertikal
dimungkinkan dengan menaikkan kelas yang lebih tinggi yang tidak perlu
menunggu pada akhir tahun pelajaran. Pendidik dalam pembelajaran terhadap anak
ini hanya bertindak sebagai fasilitator. Perlu diperhatikan bahwa usia sosial
dan emosinya sebenarnya masih sama dengan perkembangan emosi dan sosial anak
rata-rata, dan hanya perkembangan kognisinya yang lebih cepat bila
dibanding dengan anak seusianya.
·
Anak
dengan variabel ketunaan yang lain misalnya tunadaksa dengan kondisi tanpa
kaki/ polio pada kedua kaki tentu tidak dibutuhkan adaptasi materi pelajaran.
d) Untuk menghadapi berbagai kendala
perlu adaptasi media, alat dan bahan ajar.
Telah banyak diciptakan alat-alat dari hasil adaptasi yang
khusus dipergunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus. Adaptasi tersebut telah
dirasakan manfaatnya oleh mereka yang menggunakan. Komputer untuk tunanetra
yang dilengkapi dengan screen reader (komputer bicara),
kalkulator bicara, mount botten, laser can untuk membantu tunanetra berjalan
dll. Alat bantu dengar untuk anak tunarunguwicara.
Adaptasi sarana/ alat pelajaran/ alat peraga dalam hal ini
adalah adaptasi yang setiap saat dapat melakukan pendidik dalam pembelajaran di
kelas. Melalui adaptasi tersebut anak dengan kebutuhan khusus dapat melakukan/
merasakan/ mengamati seperti apa yang dilakukan oleh anak-anak lain.
Di bawah ini beberapa contoh yang mungkin dapat diterapkan
dalam pembelajaran:
1. Adapatasi bahan ajar
·
untuk
peserta didik tunanetra dapat bahan ajar diadaptasi dengan buku braille, buku
bicara, buku dgital, dll
·
untuk
peserta didik tunarungu dapat disertai gambar/ visualisasi yang dapat mewakili
narasi/ teks.
2. Dalam mempelajari bangun geometri
anak tunanetra harus mempelajari benda asli/ model/ setidaknya gambar timbul,
sehinga anak tunanetra dapat meraba, begitu pula mempelajari peta suatu wilyah
juga harus berupa peta timbul.
3. Anak lamban belajar menulis harus
dilihat kasus demi kasus. Mungkin tulisannya jelek, tidak dapat membedakan
antara huruf-huruf tertentu, menulisnya lamban.
4. Anak autis perlu meja khusus yaitu
meja yang tidak menjadikan anak banyak bergerak.
5. Anak polio (kursi roda) diperlukan
kursi dan meja yang dapat dijangkau (diturunkan) dan ruang yang cukup untuk
menempatkan kursi roda.
6. Penempatan sarana dan alat/
buku-buku mudah dijangkau untuk semua anak
d) Karakteristik peserta didik meliputi
perbedaan individual dalam hal fisik (fisik normal, tunanetra, tunarungu,
dunadaksa, warna kulit, ras, dll); emosi dan sosial (anak soleh, anak nakal,
autis, maldjusted, anak miskin, anak beresiko, dll); intelektual (anak
cerdas, rata-rata, anak bodoh, tunagrahita); kepribadian (introvert,
ekstrovert, dll); minat; bakat; dll.
2)
Metode pembelajaran terdiri dari strategi
pengorganisasian, metodologi, dan pengelolaan.
Berkaitan
dengan metode pembelajaran dapat dilakukan beberapa adaptasi antara lain:
a)
Adaptasi
waktu pembelajaran
Akan lebih bijaksana bila dalam
pemberian setiap tugas ada kaitannya dengan jenis/ tingkat kesulitan yang
dialami anak, waktu diberikan kelonggaran secara proporsional bila dibanding
dengan anak rata-rata lain. Mereka diberikan kesempatan untuk berprestasi
seperti yang lain sekalipun dalam waktu yang berbeda. Misalnya anak tunanetra
dalam mengerjakan soal-soal ujian diberikan kelonggaran 20% dengan waktu yang
digunakan oleh anak “normal”. Anak tunarunguwicara diberikan kesempatan yang
longgar dalam memahami isi bacaan/ membaca. Anak lamban belajar berhitung, bila
pendidik menuntut sejumlah soal yang sama dengan anak rata-rata lain waktu
hendaknya diberikan kelonggaran yang cukup sesuai dengan tingkat kelambanannya
atau jumlah soal dikurangi.
b)
Adaptasi pengelolaan kelas
Dalam pengorganisasian kelas
membutuhkan strategi yang kadang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pengaturan
tempat duduk terhadap anak-anak yang mengalami kelainan harus mendapatkan
prioritas khusus, sehingga mereka seperti halnya teman yang lain. Tanpa
adaptasi pengelolaan kelas mungkin mereka akan semakin tertinggal dengan teman
yang lain.
H. Prinsip
dan Pengembangan Kurikulum Adaptif
Dalam Modul
Pelatihan Pendidikan Inklsif, (…), Kurikulum umum yang diberlakukan untuk siswa reguler
perlu dirubah/dimodifikasi sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan siswa
berkebutuhan pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum dengan kemampuan siswa
berkebutuhan pendidikan khusus. Penyesuaian kurikulum tidak harus sama pada
masing-masing komponen, artinya jika komponen tujuan dan materi harus
dimodifikasi, mungkin demikian juga proses dan evaluasinya.
Proses penyesuaian juga
tidak harus sama untuk semua materi. Materi tertentu perlu dimodifikasi, tetapi
mungkin tidak perlu untuk materi yang lain. Proses modifikasi juga tidak sama
untuk semua mata pelajaran. Mata pelajaran tertentu mungkin perlu banyak
modifikasi tetapi tidak demikian untuk mata pelajaran yang lain. Proses
modifikasi juga tidak sama pada masing-masing jenis kelainan. Siswa
berkebutuhan pendidikan khusus yang tidak mengalami hambatan kecerdasan,
misalnya: anak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa, mungkin sedikit membutuhkan
modifikasi kurikulum. Sedang siswa yang mengalami hambatan kecerdasan (anak
tunagrahita) membutuhkan modifikasi hampir pada pada semua komponen
pembelajaran (tujuan, isi, proses dan evaluasi).
I.
Penerapan Kurikulum
Adpatif
Dalam Modul
Pelatihan Pendidikan Inklusif, (…), ada empat kemungkinan model kurikulum adaptif, yakni:
duplikasi, modifikasi, substitusi dan omisi, dan ada empat komponen utama
kurikulum, yakni: tujuan, materi, proses dan evaluasi. Mengembangkan kurikulum
untuk siswa berke -butuhan pendidikan khusus pada dasarnya adalah mengawinkan
antara model kurikulum dengan komponen kurikulum. Setiap satu komponen dari
model kurikulum dipadukan dengan setiap komponen kurikulum, sehingga akan
terjadi 16 kemungkinan perpaduan, yaitu 4 kali 4.
Skema 1 :
16 Kemungkinan Model Kurikulum Adaptif di Sekolah Inklusif
Duplikasi Modifikasi Subtitusi Omisi
Tujuan
Materi
Proses
Evaluasi
J. Kemungkinan
Kurikulum adaptif di sekolah Inklusi
Dalam
Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif, Sari Rudiyanti, (…), skema di atas menunjukkan
bahwa pada dasarnya ada 16 kemungkinan model kurikulum adaptif untuk siswa
berkebutuhan pendidikan khusus, yaitu kemungkinan model tujuan (1.2.3,4), empat
ke -mungkinan model materi (5,6,7,8), empat kemungkinan proses (9,10,11, 12)
dan empat kemungkinan model evaluasi (13, 14, 15, 16) . Pada waktu seorang guru
akan merancang kuriku –lum adaptif bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus,
maka ada 16 pertanyaan yang perlu dijawab. Pertanyaan pertama adalah apakah
tujuan pembelajaran yang akan diberlakukan bagi siswa berkebutuhan pendidikan
khusus, sama dengan siswa lainnya?
Apakah perlu modifikasi? Atau
diganti (subsitusi)? Atau malah dihapus/dihilangkan (omisi). Pertanyaan serupa
diajukan berkenaan dengan materi pelajaran. Seterusnya berkenaan dengan proses
dan dan akhirnya evaluasi.
Ada kemungkinan bahwa
tujuan pembe -lajaran di samakan (duplikasi), tetapi materinya harus
dimodifikasikan. Kemungkinan lain adalah bahwa tujuan pembelajaran perlu
dimodifikasi, materi juga perlu dimodifikasi, tetapi prosesnya disamakan. Ada
kemungkinan bahwa baik tujuan pembelajaran, materi, proses dan juga evaluasinya
harus dimodifikasi.
Modifikasi atau tidaknya
suatu komponen sangat tergantung kepada kondisi, sifat atau kadar dari komponen
tersebut serta tingkat hambatan yang dialami siswa berkebutuhan pendidikan
khusus.
Semakin
berat tujuan atau materi pembela -jaran yang ada, semakin perlu untuk
dimodifikasikan, dan semakin berat hambatan intelektual siswa, juga semakin
perlu dilakukan modifikasi.
K.
Kategori
Kurikulum Adaptif
Sari
Rudiyati, (…), kurikulum
untuk siswa berkebutuhan pendidikan khusus pada dasar bervariasi sesuai dengan
jenis hambatan yang dialami oleh siswa yang berssangkutan. Setiap jenis
hambatan (kelainan) membutuhkan model kurikulum yang berbeda. Namun demikian,
kategorisasi kurikulum bagi siswa berkebutuhan pendidikan khusus dalam setting
inklusif dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni:
1.
Kurikulum
bagi ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.
2.
Kurikulum
bagi ABK yang mengalami hambatan kecerdasan.
Untuk ABK yang tidak mengalami
hambatan kecerdasan kemungkinan kurikulumnya adalah sebagai beriku :
1.
Kurikulum
bagi ABK yang tidak mengalami hambatan kecerdasan.
Siswa berkebutuhan khusus
yang tidak menga lami hambatan kecerdasan, seperti anak tunanetra, tunarungu,
tunadaksa, dll. membutuh kan sedikit modifikasi dalam pembelajaran. Tujuan dan
materi pembelajaran umumnya tidak mengalami perubahan, demikian dengan
evaluasinya. Mereka biasanya lebih banyak membutuhkan modifikasi dalam proses
pembelajaran yakni berkaitan dengan cara dan media dalam penyajian informasi. Kecenderungan
model kurikulum untuk mereka dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Kecendrungan Umum Kurikulum ABK
Yang Tidak Mengalami Hambatan Kecerdasan
|
Tujuan
|
|
Materi
|
Proses
|
Evaluasi
|
||||
|
KI
|
KD
|
Indikator
|
|
Metode
|
Media
|
Soal
|
Cara
|
Alat
|
Duplikasi
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
Modifikasi
|
|
|
|
|
√
|
√
|
|
√
|
√
|
Subtitusi
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
|
Omisi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
Kurikulum bagi ABK yang
mengalami ham -batan kecerdasan
Siswa
berkebutuhan pendidikan khusus yang mengalami hambatan kecerdasan seperti anak
tunagrahita dan anak yang mengalami kelainan lain yang disertai dengan hambatan
kecerdasan , biasanya membutuhkan modifikasi hampir pada semua komponen
pembelajaran.
Tujuan pembelajaran harus dimodifikasi, sa -ma halnya dengan
materi, proses dan pelaksanaan evaluasinya.
Kecenderungan model
kurikulum untuk ABK yang mengalami hambatan kecerdsan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Kecendrungan Umum Model Kurikulum Adaptif Bagi ABK
Yang Mengalami Hambatan Kecerdasan:
|
Tujuan
|
|
Materi
|
Proses
|
Evaluasi
|
||||
|
KI
|
KD
|
Indikator
|
|
Metode
|
Media
|
Soal
|
Cara
|
Alat
|
Duplikasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Modifikasi
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
Subtitusi
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
|
Omisi
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
|
Matrik Modifikasi Indikator
Tema/Sub Tema :
Kelas/Semester :
Kompetensi Isi (KI) Regluer
|
Kompetensi Dasar (KD) Reguler
|
Indikator Reguler
|
Indikator Modifikasi
|
|
|
|
|
ABK dengan Hambatan Ringan
|
ABK dengan Hambatan Kecerdasan
Sedang
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Matrik Modefikasi Kompetensi Dasar
Tema/Sub Tema : IPA
Kelas/Semester : 2/2
Kompetinsi Inti
|
Kompetensi Dasar
|
Kompetensi Dasar (KD)
Modifikasi
|
|
|
|
ABK Ringan
|
ABK Sedang
|
|
|
|
|
Matrik Modifikasi Materi
Pembelajaran
Tema/Sub-Tema :
Kelas/Semester :
Satndar Kompetensi :
Standar Kompetensi (Reguler)
|
Materi Pembelajaran (Reguler)
|
Kompetensi Dasar (Modifikasi)
|
Materi Modifikasi
|
|
|
|
|
ABK dg Hambatan Kecerdasan
Ringan
|
ABK dg Hambatan Kecerdasan
Sedang
|
|
|
|
|
|
Dari seluruh penjabaran di atas bahwa ABK adalah mereka yang
mengalami hambatan dalam dirinya. Hambtan yang mereka miliki sangat bervariasi.
Perkembangan pemhaman tentang pendidikan, membawa mereka untuk dapat menikmati
pendidikan di sekolah regular yakni berada bersama anak-anak regular yang kita
sebut sekolah inklusif. Sekolah inklusif semkain banyak ditemukan dibeberapa
daerh di Indonesia. Untuk memaksimalkan pelayanan terhadap ABK maka diperlukan
sebuah kurikulum, kurikulum di sekolah inklusif hendaknya mampu diadaptasikan
sejalan dengan kemampuan dan hambatan ABK. Adaptasi kurikulum yang didalamnya
ada materi ajar, sarana dan prasarana, cara dan lain-lain akan membantu ABK
dalam menerima pembelajaran di sekola inklusif.
BAB III
KESIMPULAN
Setiap individu merupakan pribadi yang unik, di
dunia ini tidak ada dua orang yang persis sama. Perbedaan individu merupakan salah
satu aspek yang memperoleh perhatian dalam bidang pendidikan, terutama
kecepatan dan irama perkembangannya. Sehingga manusia dipandang sebagai makhluk
bhineka (individual differences), kekurangan atau keunggulan adalah
suatu bentuk keberagaman manusia. Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa
perbedaan peserta didik ke dalam kelompok normal dan tidak normal, pintar dan
bodoh menjadi tidak relevan lagi, disinilah perlunya pembelajaran yang efektif
sesuai dengan kebutuhan siswa.
Kurikulum sebagai substansi, suatu kurikulum
dipandang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi peserta didik di sekolah,
atau seperangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk
kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan
belajar mengajar, jadual, dan evaluasi. Kurikulum sebagai sistem merupakan
bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, dan bahkan sistem
kemasyarakatan. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan
prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan,
mengevaluasi dan menyempurnakannya. Hasil dari sistem kurikulum adalah
tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana
memelihara agar kurikulum tetap dinamis. Kurikulum sebagai bidang studi, lebih
menekankan kurikulum sebagai obyek ilmu pengetahuan, yakni sebagai bidang studi
kurikulum.
Desain kurikulum berbasis Inklusi sangat memperhatikan
beberapa hal yaitu: Pertama: usaha restrukturisasi yaitu proses pelembagaan
keyakinan, nilai dan norma baru tentang fungsi dasar, proses dan struktur suatu
lembaga untuk menjamin kepastian, keadilan, dan pemanfaatan usaha pendidikan
itu sendiri. Kedua: rekulturisasi yaitu proses pembudayaan perilaku
seseorang atau kelompok atas keyakinan, nilai dan norma baru yang diharapkan.
Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan
merupakan kunci rekulturasi. Ketiga: refigurasi yaitu proses perekayasaan
figur atau tokoh sebagai model atau teladan (kepala sekolah, guru, pamong,
orang tua) agar yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kesanggupan melembagakan
dan membudayakan keyakinan, nilai dan norma baru pendidikan yang diharapkan.
Adapatsi kurikulum juga merupakan salah satu cara
untuk pemenuhan hak bagi ABK yang berada di sekolah inkulisi. Karena setiap
individu memiliki keterbatasan maka pembelajaranpun disesuaikan dengan
keberadaan siswa. Untuk memperlancar proses KBM nya maka diperlukan rencana
untuk membuat adapatasi kurikulum agar semua ABK dapat terlayani dengan baik.
Adaptasi
dalam model pembelajaran inklusi saat proses merupakan cara penyesuaian
aktivitas belajar yang sesuai dengan kondisi siswa berkebutuhan khusus.
Penyesuaian tersebut dilakukan pada tahapan belajar perolehan, tahap ulangan,
tahap kecakapan, tahap mempertahankan, tahap perluasan, tahap penyesuaian, dan
tahap penyesuaian.
DAFTAR
PUSTAKA
Ankur
Madan and. Neerja Sharma, 2013. Inclusive Education for Children with
Disabilities: Preparing Schools to Meet the Challenge. Volume
3 Number 1 Electronic Journal for
Inclusive Education Vol. 3, No.
1 (Fall/Winter 2013)
Efendi, S. Munir,
(2008), Pembelajaran Adaptif. Diakses pada tanggal 05 Pebruari 2016, dari http://ndanks.blogspot.co.id/2008/07/pembelajaran-adaptif.html
Kustawan D., (2012), Pendidikan Inklusif dan Upaya
Implementasinya. Jakarta : PT Luxima Metro Media.
Mariam John
Meynert, 2014, Inclusive
Education And Perceptions Of Learning Facilitators Of Children With Special
Needs In A School In Sweden. Vol 29, No: 2, 2014
Md. Saiful Malak, 2013. Inclusive
Education Reform in Bangladesh: Pre-Service Teachers’
Responses to Include Students with Special
Educational Needs in Regular Classrooms. International Journal of Instruction January 2013 ● Vol.6,
No.1 e-ISSN:
1308-1470 ● www.e-iji.net p-ISSN: 1694-609X
Mujito
& Suyanto, 2012. Pendidikan Inklusif.
Jakarta: Baduose Media
Mujito, dkk. 2014. Pendidikan Layanan Khusus, Model-model dan Implementasi. Jakarta :
Kemdikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Khusus, Direktorat Pendidikan Khusu
dan Layanan Khusus
Mumpuniarti, (2011). Adaptasi Proses Pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus. diakses pada
tanggal 5 Nopember 2015 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/ADAPTASI%20PROSES%20PEMBELAJARAN%20ANAK%20BERKEBUTUHAN%20KHUSUS.pdf
Moh.
Takdir Ilahi, (2013), Pendidikan
Inklusif. Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA
Tali Heiman, (2004), TEACHERS COPING WITH CHANGES: INCLUDING STUDENTS WITH DISABILITIES IN
MAINSTREAM CLASSES: AN INTERNATIONAL VIEW . Diakses tanggal 28 Oktober
2015, dari, http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ852062.pdf
Tirtarahardja
& La Sulo (2005), Pengantar
Pendidikan. Jakarta : PT Rineke Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar